Sehat-sehat di Rumah ya, Bu. Tunggu Aku Pulang Demi Mencicipi Masakanmu.

Bu, sehat-sehatkah Ibu di rumah?
Masihkah sayur lodeh Ibu seenak dulu? Tetap samakah rasa gurih kacang dalam sambal pecelmu?
Sekian lama merantau, masakan restoran ternama pun belum bisa menyaingi kehangatan olahan tanganmu.
Ah Bu, aku rindu…
Tunggu aku pulang ya, Bu. Semoga Ibu sehat-sehat selalu.

Di Perantauan Aku Bukan Lagi Anak Manja Ibu yang Dulu. Di Sini, Aku Harus Berjuang Demi Meningkatkan Taraf Hidupku

Di sini aku bukan lagi anak manja Ibu yang dulu
Hidup memang tidak seringan saat aku masih di rumah dulu, Bu. Ketika tanganmu masih bisa kucium sebagai tanda hormat setiap pagi, atau ketika aku bisa dengan enteng ke dapur lalu memintamu memasakkan hidangan yang kusukai.

Tapi tak ada yang kusesali dari keputusanku ini. Bertekad merantau jadi salah satu keputusan terbaik yang pernah kuambil sejauh ini.

Di sini aku belajar jadi pejuang. Jadi orang yang harus mau pasang badan begadang sampai malam demi mewujudkan keinginan. Di tanah yang baru ini kedewasaanku digembleng sedemikian rupa. Aku dipaksa jadi lebih kuat sebagai manusia.

Keyakinan bahwa di sini aku berkembang jadi cambuk setiap rasa menyerah dan ingin pulang datang. Aku harus jadi anak yang membanggakan. Aku tidak dididik Ibu untuk mudah menyerah setiap kali kesusahan menabuh genderang. Aku ingin pulang hanya saat sudah ada pencapaian yang bisa dikenang.



Mati-matian Kucoba Menciptakan Kenyamanan Seperti di Rumah. Tapi Kehangatan yang Ibu Tawarkan Ternyata Tak Semudah Itu Dibawa Pindah

Ternyata kenyamanan seperti di rumah tak semudah itu bisa dibawa pindah
Dari dulu Ibu selalu berpesan. Aku harus jadi anak tangguh yang bisa bertahan di mana saja. Sampai sekarang nasihatmu ini masih ternging di telinga. Kata Ibu zona nyaman selalu bisa diperluas, selama aku lugas dan tegas aku bisa tumbuh jadi pelintas batas.

“Ingat Nak, rumah adalah perasaan. Bukan hanya bangunan permanen yang tak bisa dipindahkan.”

Kata-kata Ibu ini kuamini sepenuh hati. Terbukti aku pernah merasa pulang, ketika mampir di pelukan pasangan setelah hari yang panjang. Perasaan seperti di rumah juga sempat aku rasakan, saat memandang kerlip lampu kota dari atas trek pendakian. Selama aku yakin rumah ada di dalam hati — ia tak akan hilang kemanapun kaki membawa pergi.

Di tempat baru ini, perlahan kuciptakan lagi rasa di rumah yang selalu ingin kudapati. Kuminta Ibu mengirimiku kain sprei lawas yang sudah bertahun-tahun terpasang di kamar. Boneka dan buku-buku lawas juga Ibu kirimkan demi mengisi rak hiasan yang masih melompong di kamar. Musik band favorit yang selama ini memenuhi telinga juga kembali kau dendangkan sepanjang perjalanan.

Seharusnya, ini membuatku selalu merasa pulang ‘kan? Tapi kali ini ekuasiku tidak berjalan sesuai harapan. Tetap ada ruang kosong yang berlubang walau sudah diganjal tambalan.


Satu yang Paling Terasa. Setiap Kali Rasa Lapar Melanda, Kehangatan Rumah dan Masakan Ibulah yang Selalu Terputar di Kepala

Setiap kali rasa lapar melanda, masakan Ibulah yang selalu terputar di kepala


Saat masih di rumah dulu urusan perut tak pernah membuatku pusing seperti ini. Di rumah, paling mentok aku hanya harus melipir ke dapur untuk buka lemari — lalu mencomot apapun yang masih tersisa dari santapan siang tadi. Tapi beda ceritanya di sini, Bu.

Boro-boro mau comot sana-sini. Aku harus berpikir berulang kali sebelum memutuskan mau makan apa malam ini. Saat sudah memantapkan hati dan beranjak pergi, eeeeh tak jarang warung langganan justru kehabisan menu andalan. Tak jarang aku harus puas dengan makanan apapun yang bisa ditemukan.

Terkadang, di saat-saat miris karena lapar dan bingung harus makan apa macam ini — pikiranku terlempar ke dapur rumah yang selalu terisi. Tumis tempe sederhana buatan Ibu, gorengan bakwan yang tersisa dari menu makan siang tadi yang selalu bisa jadi penyelamatku. Betapa dulu aku menganggap remeh kemewahan yang ditawarkan masakan rumah yang selalu dihidangkan Ibu.

Jika saja kekuatan magic ala Harry Potter itu ada, ingin rasanya aku mengucap mantra,

Accio Ibu dan masakan enaknya!” ke udara.
Pasta ala cafe, masakan rumahan yang dijual di warung langganan, sampai fancy dinner dengan steak wagyu tak ada yang bisa menyaingi masakan rumah Ibu.

Ah, andai saja harga tiket pulang dan kesibukan kerja bisa diakali, aku tak keberatanharus jadi komuter tiap hari demi bisa menikmati masakan rumah Ibu.

Kalau Boleh Jujur, Aku Cuma Rindu Bu. Pada Rumah, Pada Ibu, dan Pada Hangatnya Masakanmu yang Selalu Nomor Satu

Aku cuma rindu pada rumah dan kehangatanmu
Sekian lama di perantauan membuatku sadar. Tugas Ibu di rumah memang jauh dari kata mudah. Setiap pagi Ibu harus memastikan Ayah, aku, dan adik-adik bangun dan berangkat tepat waktu. Tak cuma itu, Ibu masih juga perlu mendelegasikan tugas harian ke Asisten Rumah Tangga kita yang masih baru.
Sementara kami merasa jadi orang paling sibuk di luar rumah, dalam diam Ibu berbenah di rumah demi menyiapkan hidangan terbaik untuk menyambut kami yang pulang dengan lelah. Aku yang dulu belum tahu susahnya jadi orang dewasa sering menjawab Ibu dengan santainya,


“Yah Bu…maaf udah makan di luar tadi sama teman.” 
“Nanti ah Bu makannya. Aku belum lapar.”

Seandainya ada di posisimu bisa jadi aku sudah kehabisan kesabaran dari jauh-jauh hari. Bahkan bisa mogok masak karena merasa kerja kerasku tak dihargai. Tapi Ibu selalu berbesar hati. Ibu hanya akan meletakkan kembali semua peralatan makan yang sudah tersusun rapi, menghangatkan ulang makanan yang sudah Ibu agar masih bisa dimakan esok hari.

Kesabaran dan pengorbanan Ibu di manapun memang tak ada duanya. Seperti Ibu yang rela pergi ke Kutub Utara demi memasakkan makanan rumah kesukaan anaknya, aku yakin Ibu pun rela melakukan apapun agar buah hati dan keluarga tercukupi seluruh kebutuhannya.

Sementara Itu, Cium Sayang Dulu Dariku. Sehat-sehat ya Bu. Anakmu Ini Janji Akan Bekerja Lebih Keras Demi Sering Mengunjungimu

Sementara itu, cium jauh dulu dariku
Ibu tak perlu harus ke Kutub Utara seperti Ibu di video Royco yang mengharukan ini. Kali ini giliranku yang akan datang. Aku berjanji akan bekerja lebih keras dari sekarang. Agar setidaknya setiap bulan bisa pulang. Tentu untuk mencicipi masakan rumah Ibu yang tak ada duanya itu — tapi di balik itu aku juga ingin membayar waktu.

Aku berjanji akan lebih banyak di rumah, makan masakan rumah yang Ibu olah, daripada keluyuran ke cafe-cafe baru. Sebab di sini aku baru sadar bahwa masakan Ibu jauh lebih berharga dari sekadar kumpulan sayur dan bumbu-bumbu. Ada cinta dan kesabaran yang Ibu tuangkan di situ.

Maaf ya Bu, anakmu ini jarang menunjukkan penghargaannya saat kita masih bersama dulu. Barangkali memang jarak dan kedewasaan yang dibutuhkan sebelum kini aku tahu betapa besar pengorbananmu. Berjanji padaku ya Bu, Ibu harus sehat-sehat selalu supaya bisa terus memasak masakan rumah yang lezat itu untukku.

Tunggu aku di rumah Bu, aku berjanji akan lebih sering pulang demi mencicipi masakan rumah buatanmu.

Apakah kamu juga sedang didera rindu pada Ibu dan masakan rumah yang tak ada duanya itu? Ingin segera bisa mengetuk pintu demi menuntaskan rasa rindu?

Sampai kapan pun masakan rumah olahan Ibu memang tak akan terganti. Tapi di perantauan macam ini, terkadang “rumah” memang harus diciptakan sendiri.

artikel diatas benar-benar sama apa yang saya rasakan selama ini. sebentar lagi aku pulang bu..


3 comments

thanks for visiting my blog :)
i like read your comment
follow me, and i'll follow back you.